Senin, 15 September 2014

Masakan Jepang yang Cocok Di Lidah : Warkoshi

Saya dulu sangat penasaran dengan yang namanya sushi. Di zaman tahun 2009, yang namanya makanan luar, entah itu western atau pun asian, dengan harga miring tentu amat jarang dan tidak sebanyak sekarang. Maka dari itu, ketika ada paketan di sebuah kedai makan di food court sebuah perbelanjaan, saya pun dengan senang hati membeli paketan itu. Dan...

Saya kapok makan sushi.

Iya, gara-gara itu saya tidak mau makan sushi untuk beberapa lama, hingga tahun 2014 ini, salah satu sahabat saya memberitahu perihal kedai sushi yang rasanya enak dan miring. Reaksi saya pertama kali dengan ceritanya adalah apatis. Masak iya ada sushi seperti itu? Jujur, kenangan makan sushi dengan rasa asli itu masih melekat kuat di ingatan saya. Namun, teman saya meyakinkan, kalau sushi di kedai itu sangat berbeda! Tidak ada bau cuka, tidak ada ikan mentah, semua rata-rata matang!




Saya masih apatis, tapi mulai tertarik. Kemudian, saya pun datang ke kedai itu yang letaknya tak jauh dari tempat tinggal saya. Warungnya kecil, areanya sempit, nggak terlihat seperti kedai jepang kebanyakan, kecuali lampion merah di bagian depan. Saya mendadak skeptis melihat tempatnya. Namun, karena penasaran dengan sushi tersebut, saya pun memaksakan diri untuk masuk dan memesan beberapa potong sushi dan YAAAAA....


Ternyata sushinya memang beda! Cocok di lidah! Rasanya sama sekali tidak aneh, bahkan cenderung enak. Sejak saat itu pun, saya jadi langganan di kedai sushi itu, yang tak lain adalah Warkoshi yang berada di jalan Hayam Wuruk, persis di seberang kampus Fakultas Ilmu Budaya-nya UNDIP. Jadi... kalau ingin mencoba makanan luar dan tidak suka aneh-aneh, lebih baik... cari dulu rekomendasi dari teman-teman ya. Jangan sampai kena jebakan betmen seperti saya.


O, ya, harga per-roll sushi ini berkisar antara 9000 – 18.000an, cukup murah kan? Minumannya juga murah-murah. Sayang, pesan satu porsi itu sama sekali nggak mengenyangkan. Selalu ingin makan lebih kalahu sudah menghabiskan sepiring sushi di sana. :)))

Melihat Bintang Dari Atas


      Bagaimana caranya melihat Bintang dari atas? Aneh ya..., masak bisa? Nggak mungkin.
api mungkin kok. Asal titik-titik cahaya di atas dipindah ke bawah. 

Haaah? Serius? Gimana caranya? 
Jadi... bintangnya diganti lampu aja...., kan lebih mudaaaah. *ditendang sampai timbuktu*


Tapi... kata-kata saya tadi bukan main-main. Kita memang bisa melihat Bintang dari atas, apalagi kalau dari tempat-tempat tinggi seperti bukit atau pegunungan. Niscaya, kita bisa melihat deretan lampu-lampu berwarna-warni di tengah kegelapan malam. Orang mengatakan kalau Semarang bukan koa besar, padahal... kota ini aslinya luas dan memiliki kekayaan tempat. Mau ke pantai? Bisa. Mau ke gunung? Bisa, mau ke daerah gua atau dataran rendah, ada juga. Ke bukit? Ada segudang buanyaknya di daerah Semarang. Di sini, tentu yang saya maksud mencakup Semarang kota maupun Kabupaten Semarang.


Sekarang saya mau membicarkan perihal sebuah restoran yang ada di daerah perbukit Semarang, tepatnya di Gombel. Kawasan yang terkenal angker, rawan kecelakaan, dan penuh dengan misteri ini ternyata menyimpan sebuah keindahan jika malam tiba, yaitu... cahaya lampu-lampu. Dari sebuah restoran bernama Alam Indah di sana, kita bisa menikmati sajian masakan rakyat (dengan harga yang tidak merakyat) sambil menonton keindahan kota Semarang bawah. Lampu bersampur dan dari sana kita juga bisa melihat ke arah pelabuhan.

Bagi pasangan muda, tempat ini terbilang cukup romantis dan menyenangkan, apalagi ada band-nya juga. Sayang..., hati-hati dengan isi dompet. Salah-salah, kebanyakan makan malah bikin kantong terkuras habis :))

Jumat, 12 September 2014

Tugu Muda Semarang : Sebuah Monumen Pengingat Masa Lampau




Tugu Muda Semarang merupakan monumen pengingat, mengenai sebuah peristiwa besar di zaman awal kemerdekaan NKRI. Peristiwa ini erat kaitannya dengan para pemuda dan semangat patriotik.

15 Oktober 1945, kota Semarang teramat mencekam. Hal itu tak lain dan bukan karena ketegangan yang terjadi antara BKR (Badan Keamanan Rakyat) dengan tentara Jepang. Berita proklamasi Kemerdekaan Indonesia membuat rakyat Semarang, khususnya, para pemuda, terlibat aksi perlucutan senjata tentara Jepang tanpa kekerasan. Namun, tentara Jepang, yang bermarkas di Jatingaleh, menolak penyerahan senjata, meski Gubernur Jawa Tengah pada waktu itu, Gubernur Wongsonegoro, sudah menjamin bahwa senjata yang diambil tidak akan digunakan untuk melawan Jepang.

Keadaan semakin mencekam. Pertempuran pun tak bisa dielakkan. Pertempuran antara BKR dengan tentara Jepang berlangsung dari Cepiring sampai bisa dipukul mundur ke Jatingaleh. Suasana pun semakin panas, apalagi terdengar kabar bahwa pasukan Jepang akan mengadakan serangan balasan terhadap pemuda Semarang. Banyak yang menjadi korban dalam serangan-serangan yang dilancarkan saat itu, seperti delapan polisi Istimewa yang sedang menjaga sumber air minum bagi warga kota Semarang. Hal ini menimbulkan desas-desus yang meresahkan masyarakat, karena terdengar kabar bahwa Jepang akan meracuni reservoir yang menjadi tempat cadangan air minum di Siranda.

Desas-desus ini pun membawa satu nama lain yang sampai sekarang dikenal oleh masyarakat, yaitu dr. Kariadi. Sebagai kepala Laboratorium Purusara, dr Kariadi mendapat telepon dari pimpinan Pusat Rumah Sakit Rakyat Purusara untuk mengecek kebenaran kabar tersebut. Istri dr. Kariadi telah mencegah suaminya untuk pergi ke reservoir tersebut, tapi dr. Kariadi berpendapat lain. Beliau tetap pergi ke sana dan mengecek keadaan. Tentara Jepang pun membunuh beliau dengan keji.

Berita terbunuhnya dr. Kariadi menyulut kemarahan rakyat Semarang dan pertempuran pun meluas ke berbagai penjuru kota. Pertempuran berakhir setelah kedatangan tentara Sekutu yang mendarat di pelabuhan Semarang sehingga mempercepat perdamaian antara Jepang dan rakyat. Pertempuran yang berlangsung selama lima hari ini memakan korban sekitar 2000 pihak Indonesia dan 850 tentara Jepang.

Tugu Muda merupakan monumen pengingat pertempuran 5 hari ini. Sekarang, kawasan Tugu Muda menjadi pusat berkumpulnya muda-mudi untuk berekreasi dan berkumpul

PRPP Semarang




PRPP, kependekan dari Pusat Rekreasi Promosi dan Pembangunan, merupakan sebuah tempat yang ada di kompleks Tawang Mas sekitar daerah puri Anjasmoro, berdekatan dengan pantai Marina Semarang. Sebelum tahun 1980, yaitu sekitar tahun 1970, PRPP mempunyai nama PRS atau nama lainnya Pekan Raya Semarang. Itu pun diadakannya tidak di daerah Puri Anjasmoro, melainkan di kawasan Taman Hiburan Rakyat yang kini bernama TBRS (Taman Budaya Raden Saleh).


Awal mula diadakannya PRS memiliki tujuan untuk memeriahkan HUT RI, sekaligus menyajikan hiburan serta memamerkan produk-produk pembangunan daerah atau pun kalangan wisata kepada masyarakat. Namun, seiring berjalannya waktu, pengunjung PRS kian lama-kian meluas, tak hanya dari warga kota Semarang saja. Hal itu pun langsung dimanfaatkan oleh pelaku bisnis dari yang kecil sampai besar untuk memperkenalkan dan memasarkan produk-produk mereka.

Mulai tahun 1985, PRPP dinilai memiliki potensi berkembang yang sangat besar, sehingga dibentuklah kepanitiaan Yayasan PRPP berdasarkan Keputusan Gubernur Jawa Tengah tertanggal 1 Januari 1985 Nomor : 510.1/0249 dan pada akhirnya keputusan tersebut disempurnakan kembali dengan diterbitkannya keputusan tanggal 30 November 1989 Nomor : 510.1/314/1989.

Sampai sekarang, PRPP sering dimanfaatkan untuk event-event besar. Belum lama ini, ada Jateng fair, lalu ada juga taman lampion saat bulan Juni atau Juli lalu. Lokasi PRPP sekarang ini pun terbilang sangat luas, lebih luas dari TBRS, sehingga bisa dimanfaatkan untuk berbagai acara besar. (Foto dari berbagai sumber).


Kamis, 11 September 2014

Tradisi Semarang sebelum dan selama puasa : Dugderan


Membicarakan soal dugderan tak bisa lepas dari bulan puasa, perayaan penyambutan bulan puasa, dan warak ngendhog. Kenapa saya bilang tidak bisa lepas? Karena kenyataannya, setiap kali bulan puasa datang maka dugderan dimulai, dan warak ngendhog pun akan ikut tampil dalam acara ini.

Dugderan yang berasal dari kata ‘dug’ yaitu bedug dan ‘der’ yang bermakna pada suara letusan meriam. Sejarah dugderan berasal dari masa kepemimpinan Bupati Demak, Aryo Purbaningrat. Ketika itu, sang Bupati bermusyawarah dengan sekelompok ulama untuk mengadakan penentuan awal Ramadhan di Masjid Kauman, Semarang.

Dalam penentuan awal Ramadhan ini, para ulama menghasilkan ketetapan resmi kapan dimulainya awal Ramadhan. Sembari menunggu hasil musyawarah hasil keputusan penetapan Ramadhan, Bupati Aryo Purbaningrat mengadakan pasar malam untuk rakyat semarang di sekitar masjid Semarang. Setelah pembacaan awal bulan ramadhan, dilakukan penabuhan beduk disertai bunyi-bunyian meriam dan mercon yang berulang-ulang. Itulah awal sejarah terjadinya dugderan. Dari tahun ke tahun, tradisi dugderan ini terus berlanjut, bahkan dikemas supaya menjadi lebih menarik.

Pasar malam tetap ada di kawasan pasar Johar. Karnaval menyambut datangnya awal bulan puasa dilakukan dan disinilah wark ngendhog, sebagai ikon kota Semarang, banyak terlihat. Warak ngendhog memiliki bentuk fisik unik, yang mencerminkan 3 suku yang tinggal di Semarang. Kepalanya menyerupai kepala naga (Cina), tubuhnya layaknya buraq (Arab), dan empat kakinya menyerupai kaki kambing (Jawa).

Tidak jelas asal-usul Warak Ngendog. Binatang rekaan ini hanyalah mainan dalam bentuk patung atau boneka celengan yang terbuat dari gerabah. Siapa yang menginspirasi pembuatannya pun tak ada yang tahu. Yang pasti sejak dugderan digelar, sejumlah pedagang menggelar mainan ini. Dalam setiap penjualan, penjual menaruh telur ayam matang di bawahnya. Telur itu turut serta dijual bersama waraknya.

Tay Kak Sie



Berdirinya Klenteng Tay Kak Sie yang ada di Gang Lombok Semarang tidak bisa dipisahkan dengan sejarah bangsa ini, yaitu mengenai perjuangan dan penjajah Belanda. Kelenteng Tay Kak Sie dibangun pada tahun 1746. Dasar berdirinya klenteng ini tidak bisa dipisahkan dari pemberontakan kaum tionghoa yang bermukim di Batavia dulu. Pemerintah Hindia Belanda yang takut pemberontakan akan merembet sampai ke Semarang, akhirnya melokalisir masyarakat tionghoa di kawasan pecinan Semarang. Hal ini dilakukan oleh Pemerintah Hindia Belanda supaya bisa mengawasi gerak-gerik masyarakat tionghoa.

Dengan dipindahkannya masyarakat tionghoa ke kawasan kota lama, otomatis membuat jarak kaum tersebut dengan tempat peribadatan mereka, yaitu kelenteng Sam Poo Kong, menjadi sangat jauh. Pada zaman saat itu, tentu pergi bolak-balik dari Sam Poo Kong ke kota lama membutuhkan waktu yang lama. Karena itu, atas inisiatif dan prakarsa dari seorang saudagar bernama Khouw Ping (Xu Peng), didirikanlah sebuah rumah pemujaan yang kemudian diberi nama Kwan Im Ting.

Lambat laun klenteng kecil itu pun menjadi pusat keramaian, hingga pada suatu ketika terjadi bentrokan antara pemuda yang sedang mabuk di halaman klenteng, yang mengundang reaksi besar dari tokoh-tokoh masyarakat waktu itu. Akhirnya, disepakati, klenteng kecil itu pun dipindahkan. Atas dasar ahli fengshui, klenteng tersebu dipindahkan ke kebun lombok yang kemudian sekarang bernama gang lombok. Tay Kak Sie sendiri memiliki arti yaitu kuil kesadaran.



Kuil tersebut masih terawat baik dan berdiri megah sampai sekarang. Kita bisa datang berkunjung ke sana dan masuk ke dalamnya. Hanya saja, hati-hati, jangan sampai mengganggu orang-orang yang beribadah di dalam sana.

Rabu, 10 September 2014

Tempat Wisata Air Owabong





Berjalan-jalan ke Purbalingga kurang lengkap rasanya kalau tidak mampu ke wahana wisata air Owabong. Tempat wisata air itu merupakan salah satu tempat wisata keluarga yang dikelola sangat baik dan mempunyai fasilitas yang lumayan lengkap. Para pengunjung bisa berekreasi sekaligus bersenang-senang sambil main air di sana. Lokasi Owabong yang dekat dengan pegunungan juga membuat keadaan di sekitar menjadi rindang dan asri.


Letak pasti Owabong berada di Desa Bojongsari Kecamatan Bojongsari Kabupaten Purbalingga, Jawa Tengah. Diperlukan waktu perjalanan sekitar 4 jam dari kota Semarang, dan 5 jam perjalanan dari kota Yogyakarta. Seperti konsepnya, yaitu wahana wisata air, Owabong memiliki banyak permainan yang tentu saja bertemakan air. Dari waterboom yang tingginya sampai 13 meter, kolam renang Olympic yang memiliki panjang 50 meter dan lebar 21 meter in serta kedalaman 120 cm hingga 225 cm, sampai permainan kolam ember tumpah. Selain permainan air, Owabong juga menyediakan permainan lainnya, seperti Sirkuit Gokart dan Flying Fox, serta ada juga Wahanya Cerdas Anjungan Wisata Dirgantara.

Tertarik untuk mencoba permainan-permainan di sana? Harga tiket masuk yang harus anda bayar adalah Rp25.000* per orang untuk hari libur, dan Rp20.000* per orang untuk hari biasa. Anda pun masih harus membayar uang lagi kalau ingin mencoba wahana air di Owabong. Tarifnya pun cukup terjangkau, yaitu mulai dari Rp10.000* – Rp15.000*. Biaya parkir untuk motor Rp1.000*, dan Rp2.000* untuk mobil.

Fasilitas yang ditawarkan Owabong cukup mewakili semua golongan umur, mulai dari anak-anak hingga dewasa. Ada fasilitas Rest Area, Mushola, restoran, loker dan lain-lain.