Tampilkan postingan dengan label tradisi. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label tradisi. Tampilkan semua postingan

Rabu, 01 Oktober 2014

Jalan-jalan ke Sragen (2)




Sragen terlihat tenang dan damai. Kabupaten ini memang bisa dibilang kecil dan tidak terlalu ramai. Walau, kalau saat lebaran, bisa dibilang jalan di kabupaten ini akan padat merayap. Tempat wisata di kabupaten Sragen tidak terlalu terkenal dibanding tempat-tempat wisata di sekitar Sragen seperti Solo, Karanganyar, atau Wonogiri. Sebenarnya, ada satu objek wisata yang terkenal, yaitu Sangiran, di mana di sana terdapat Musium purbakala Sangiran, yang berisi banyak peninggalan purbakala.


 Selain Sangiran, sebenarnya ada juga objek wisata lain yang bisa dikunjungi, seperti Gunung Kemukus, Waduk Kedung Ombo, Pemandian Air Panas Bayanan, Kampung Batik Kliwonan. Bahkan, di kabupaten ini sebenarnya ada event budaya tahunan yang diadakan seperto, Larab Langse, Festival Cembeng, Larung Agung, Gethek Joko Tingkir, serta Kejuaraan Nasional Berkuda. Sayangnya, mungkin di antara sekian banyak tempat wisata dan eventnya, hanya sedikit sekali yang pernah didengar.



Sedangkan untuk makanan khas, ada nasi sambal tumpang, soto girin, sate banaran, pecel sragen, Tengkleng, ronde, dan dawet. Sebagian di antara makanan ini tentu pernah kalian nikamti, kan? Sebenarnya, banyak juga jajanan pasar yang unik di kabupaten ini, tetapi... susah kalau mau dijelaskan satu per satu. Sebenarnya, pemerintah kabupaten Sragen sudah menyiapkan ebook panduan wisata Sragen bagi siapa pun yang mau berjalan-jalan ria di sana. Silakan menikmati tempat wisata dan kulineran di Sragen ya. ^^

Kamis, 11 September 2014

Tradisi Semarang sebelum dan selama puasa : Dugderan


Membicarakan soal dugderan tak bisa lepas dari bulan puasa, perayaan penyambutan bulan puasa, dan warak ngendhog. Kenapa saya bilang tidak bisa lepas? Karena kenyataannya, setiap kali bulan puasa datang maka dugderan dimulai, dan warak ngendhog pun akan ikut tampil dalam acara ini.

Dugderan yang berasal dari kata ‘dug’ yaitu bedug dan ‘der’ yang bermakna pada suara letusan meriam. Sejarah dugderan berasal dari masa kepemimpinan Bupati Demak, Aryo Purbaningrat. Ketika itu, sang Bupati bermusyawarah dengan sekelompok ulama untuk mengadakan penentuan awal Ramadhan di Masjid Kauman, Semarang.

Dalam penentuan awal Ramadhan ini, para ulama menghasilkan ketetapan resmi kapan dimulainya awal Ramadhan. Sembari menunggu hasil musyawarah hasil keputusan penetapan Ramadhan, Bupati Aryo Purbaningrat mengadakan pasar malam untuk rakyat semarang di sekitar masjid Semarang. Setelah pembacaan awal bulan ramadhan, dilakukan penabuhan beduk disertai bunyi-bunyian meriam dan mercon yang berulang-ulang. Itulah awal sejarah terjadinya dugderan. Dari tahun ke tahun, tradisi dugderan ini terus berlanjut, bahkan dikemas supaya menjadi lebih menarik.

Pasar malam tetap ada di kawasan pasar Johar. Karnaval menyambut datangnya awal bulan puasa dilakukan dan disinilah wark ngendhog, sebagai ikon kota Semarang, banyak terlihat. Warak ngendhog memiliki bentuk fisik unik, yang mencerminkan 3 suku yang tinggal di Semarang. Kepalanya menyerupai kepala naga (Cina), tubuhnya layaknya buraq (Arab), dan empat kakinya menyerupai kaki kambing (Jawa).

Tidak jelas asal-usul Warak Ngendog. Binatang rekaan ini hanyalah mainan dalam bentuk patung atau boneka celengan yang terbuat dari gerabah. Siapa yang menginspirasi pembuatannya pun tak ada yang tahu. Yang pasti sejak dugderan digelar, sejumlah pedagang menggelar mainan ini. Dalam setiap penjualan, penjual menaruh telur ayam matang di bawahnya. Telur itu turut serta dijual bersama waraknya.